Penghapusan KKM dari Kurikulum Pendidikan

Mulai tahun pelajaran 2022/2023 ini, kementerian pendidikan Indonesia secara resmi menghapus salah satu elemen penilaian pembelajaran yaitu Kriteria Ketuntasan Minimal atau lebih dikenal dengan singkatan KKM. Perubahan ini menjadi bagian dari usaha dari pemerintah untuk memperbaiki model pendidikan di Indonesia. Namun tentu saja perubahan ini menuai kebimbangan dari para guru sebagai pelaksana teknis kebijakan pendidikan.

Seperti yang selama ini diketahui dalam dunia pendidikan, KKM digunakan sebagai kriteria acauan untuk menentukan apakah seorang peserta didik dinyatakan 'Tuntas' atau 'Tidak Tuntas' pada sebuah kompetensi dasar mata pelajaran. misalkan, jika KKM yang ditetapkan pada mapel matematika adalah 70, maka semua siswa yang mendapatkan nilai sama dengan atau lebih dari 70 akan dinyatakan tuntas dan dianggap kompeten terhadap sebuah materi.

Sejak awal digunakan, KKM memang menuai pro dan kontra dari para guru. Sebagian yang mendukung penetapan KKM ini berpendapat bahwa guru memerlukan patokan yang jelas untuk menentukan ketuntasan materi yang mereka sampaikan kepada siswa. Mereka menganggap bahwa akan sangat susah melakukan evaluasi pembelajaran jika tidak ada KKM. Dengan adanya KKM, guru bisa mengetahui materi mana yang ada dalam matapelajaranya yang termasuk sulit, sedang, atau mudah. Dengan demikian mereka bisa mempersiapkan materi dan juga strategi pembelajaran yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Sebaliknya, bagi sebagian guru, penetapan KKM seakan menjadi mimpi buruk bagi pendidikan di Indonesia. Bukan hanya KKM ini lebih banyak berfokus pada penilaian kuantitatif yang dirasa sangat kaku dan kering, nilai KKM seringkali dijadikan sebagai patokan 'kinerja guru' dalam mengajar.

Kegagalan guru dalam mengantar anak untuk mencapai nilai KKM dianggap sebagai sebuah pengukuhan 'ketidak mampuan' guru dalam mengajar. Padahal, ada banyak faktor yang melatarebelakangi sukses atau tidaknya proses pembelajaran baik itu dari internal maupun eksternal sekolah. Namun banyak pihak yang seakan tak mau tau tentang kondisi tersebut dan menjadikan ketercapaian nilai  KKM sebagai 'kontrak' pembelajaran yang harus dipenuhi oleh guru apapun caranya! Dalam banyak kasus, akhirnya guru 'mengalah' dan dengan sangat terpaksa menghadiahi siswanya dengan nilai KKM atas nama penyelamatan diri atau sekedar tidak ingin bersitegang dengan atasan atau orangtua. Dengan begitu semua senang dan semua tenang. Namun apakah benar begitu? Tidak! ada banyak idealisme dan proses pendidikan yang tergadaikan untuk menebus kesenangan dan ketenangan semu ini.

Mungkin, dengan latar belakang seperti itulah pemerintah mencari cara yang lebih baik untuk mengukur ketercapaian kompetensi siswa yang lebih 'menenangkan'. Melalui peraturan tentang standar penilaian nasional 2022, kementerian pendidikan menawarkan konsep Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP) sebagai pengganti dari KKM. Hal mendasar yang membedakan KKTP dengan KKM adalah:

  1. Ketuntasan siswa dalam mempelajari sebuah kompetensi tidak lagi hanya diukur dengan secara kuantitatif. Pendekatan kualitatif juga digunakan sebagai alternatif yang lebih rasional untuk menilai kompetensi yang bersifat praktikum atau sejenisnya, meskipun begitu pendekatan kualitatif juga bisa diterapkan untuk mengukur kompetensi yang bersifat kognitif. Penggunaan predikat kontinum Sangat baik - kurang baik  yang selama ini hanya jamak ditemuai untuk menilai sikap dan karakter, sekarang juga bisa digunakan untuk menilai kompetensi kognitif siswa. 
  2. Tidak seperti KKM yang secara tegas membagi siswa menjadi dua kategori besar 'lulus' dan 'tidak lulus', KKTP ini lebih bersifat sebagai deskripsi level kemampuan siswa terhadap Tujuan Pembelajaran yang dipelajari tanpa menghakimi apakah siswa tersebut lulus atau tidak. Ilustrasi sederhana dari KKTP ini adalah sebagaiman yang bisa kita temuai di tes kemampuan bahasa inggris TOEFL. Setelah menyelesaikan test TOEFL, peserta akan mendapatkan nilai tertentu (0-300 untuk CBT). di dalam sertifikat TOEFL yang diberikan, tidak ada yang menyatakan bahwa peserta test tersebut kompeten atau tidak kompeten dikarenakan tidak ada nilai minimal yang dijadikan patokan penghakiman. Semua peserta akan mendapatkan deskripsi kemampuan yang mereka miliki berdasarkan nilai yang didapatkan. Semakin tinggi skor yang dimiliki, semakin banyak dan luas pula deskripsi kemampuan yang diberikan. Jadi, bahkan saat peserta test mendapatkan nilai 0 sekalipun, tidak ada satu kata 'tidak kompeten' pun yang ada dalam deskripsinya. Yang ada hanya penjelasan 'Test takers with a Speaking section score below 10 have not yet demonstrated proficiency at the Basic level'.  siswa dinyatakan 'belum (not yet)' mampu dan bukan 'tidak mampu'. Satu perbedaan penggunaan kata yang kelihatanya sepele tapi sebenarnya mengandung makna atau filosofi pendidikan yang sangat jauh berbeda.
  3. KKM selama ini disusun mulai dari level KD (atau bahkan sub KD) dan juga KKM matapelajaran. Dengan paradigma KKM sebagai 'garis batas' penentu mampu dan tidak mampunya guru dan siswa dalam menyelesaikan pembelajaran, ini berarti hampir semua ujian yang dilakukan dengan dasar KKM akan cenderung bersifat sumatif dan high stakes assessment. Dengan demikian asesmen yang dilakukan akan cenderung mengangkan dan bikin stress baik bagi guru maupun siswa. KKTP memiliki nuansa yang agak berbeda, kriteria ini akan lebih mendorong guru untuk menyusun asesmen yang bersifat formatif. Soal, latihan, atau ujian yang dilakukan digunakan untuk membantu siswa memahami suatu materi, bukan untuk mengukur hasil pemahaman (achievement) mereka terhadap sebuah tujuan pembelajaran. Dengan demikian soal atau latihan yang diberikan bernuansa low stakes yang diharapkan bisa menciptakan suasana belajar yang lebih nyaman dan bersahabat untuk siswa dan guru. Everyone is happy

Dari penjelasan di atas, meskipun KKM, yang selama ini menjadi acuan (dan kadang jadi ancaman), dihapus, guru tidak perlu bingung tentang bagaimana cara mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran yang mereka jalankan. Guru sekrang bisa menggunakan Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran sebagai alat ukur yang lebih flesibel dan juga menenangkan. Yang perlu guru lakukan sekarang adalah memahami Capaian Pembelajaran (sama seperti KI-KD) yang ditargetkan dan kemudian menyusun Tujuan Pembelajaran, modul, dan sekaligus model asesmen yang akan digunakan. Selamat menyambut era baru dalam penilaian pembelajaran yang lebih merdeka....era pendidikan dengan Kurikulm Merdeka (ars)


Referensi:

https://www.ets.org/s/toefl/pdf/pd-toefl-ibt.pdf

Tanya jawab kurikulum merdeka

panduan perencanan pembelajaran dan asesmen